-->

Thursday, February 22, 2018

Hold Your Dreams - Cerpen -

Posted by Firda at 5:34 PM
Hold Your Dreams

Semilir angin berhembus menerpa wajahku. Dinginnya udara pagi membuat tubuhku menggigil. Aroma pepohonan yang basah oleh embun menyeruak dan menggelitik bulu – bulu halus di rongga hidung. Matahari belum menampakan dirinya.

Aku mulai menimba air untuk berwudhu. Ku basuh tangan hingga kakiku perlahan. Kemudian, kulafalkan do’a setelah berwudhu. Aku masuk ke dalam rumah yang sederhana. Ku ambil mukenah untuk melaksanakan shalat subuh.

Tak lama kemudian, bunyi ayam pun mulai bersaut – sautan. Menandakan bahwa matahari telah terbangun dari tidurnya. Aku berjalan menuju teras. Di sana, ada ibu dan ayah yang sedang berbincang – bincang. Aku menghampiri mereka dengan langkah riang.

“Selamat pagi, bu, yah!”

“Pagi, sayang. Gimana kerjaan kamu?”

“Sangat baik, bu. Terimakasih ibu dan ayah untuk segalanya.” Aku menatap ibu dan bapak dengan mata berkaca – kaca seraya tersenyum.

Ya, kerja keras tidak akan menghianati.

Hari itu sangat terik. Matahari bisa saja membakar gosong kulitku. Aku mengayuh sepedaku dengan cepat. Sepertinya, dewi fortuna sedang tidak berpihak padaku. Rantai sepedaku lepas! Terpaksa aku harus berjalan kaki.

Jarak tempat tinggalku dengan sekolah lumayan jauh. Tiap hari aku harus menaiki sepeda supaya cepat sampai sekolah. Tak lupa, aku membawa kue yang dibuat oleh ibuku untuk dijual. Kue – kue ini selalu terjual abis di kelasku. Ah, masakan ibuku memang yang terbaik.

Sampai di rumah, aku langsung menghempaskan tubuhku di bangku kecil yang terletak di teras. “Acha, rantainya copot lagi?” Suara ibu membuatku terkaget.

“Eh, ibu. Hehe, iya. Biasalah,”

Ibu mengelus rambutku memberikan kehangatan kasihnya, “Gimana kalau kita pergi beli sepeda saja?”

Aku mendongak, “Nggak usah, bu. Tabungannya disimpan saja buat masa tua ibu dan ayah. Lagipula, sepedanya masih bisa dibenerin kok,”

Ibu tersenyum menanggapi ucapanku. Hening, tak ada yang bersuara. Aku pun memecah keheningan, “Bu, ayah di mana?”

“Masih di sawah. Lagi panen padi,”

“Oh... kalau begitu, aku mau mandi dulu, bu.” Ibu mengangguk. Aku bangkit dari dudukku dan segera pergi membersihkan diri. Sekalian mengerjakan PR. Aku biasa mengerjakannya sepulang sekolah. Karena takut ada pemadaman listrik tiba – tiba pada malam hari.

Matahari perlahan hilang dari pandangan. Setiap menjelang malam, aku harus menggiring ayam ternak ayahku menuju kandangnya. Adzan maghrib pun berkumandang.

Di hadapanku, telah tersedia nasi, ikan asin, sayur asem, tempe dan tahu, tak ketinggalan juga sambal. Itulah menu favorit keluargaku. Tak ada yang mengeluarkan suara selagi makan. Setelah menyelesaikan makan, seperti biasa kami menuju ruang tengah untuk berbagi cerita.

“Acha, setelah lulus SMA ini, apa yang akan kamu lakukan?” Tanya ayahku.

“Acha mau kuliah, yah. Acha sudah mempersiapkan semuanya, supaya Acha bisa dapat jalur undangan.” Aku menjawab dengan tegas.

“Jurusan apa yang akan kamu ambil?”

“Acha akan mengambil jurusan arsitektur, yah.”

“Ayah nggak setuju!” Aku tersentak mendengar perkataan ayah. Ibu hanya diam.

“Tapi Acha mau jadi arsitek, yah. Ayah tau kan, Acha suka seni!” Airmataku sudah tergenang. Sekali saja aku berkedip, dengan mudah airmata ini meluncur.

“Apa gunanya seni? Nggak bermutu! Ayah mau kamu jadi guru! Bukankah ayah sudah pernah bilang sama kamu?!” Ibuku mengusap bahu ayah, berusaha menenangkan emosinya.

“Tapi Acha nggak suka, yah! Acha mau kerja sesuai passion Acha!”

“Kamu berani ngebantah ayah?!” Tangan ayah terangkat siap menamparku. Aku memejamkan mata, namun tangan itu tak kunjung menamparku. Ku buka mata perlahan. Ternyata, ibu menahan tangan ayah. Ayah yang merasa geram meninggalkan ruangan. Aku terisak dipelukan ibu. Sejak itu, ayah tak lagi mempedulikannku.

Malam ini, aku tidur bersama ibu. Ibu bilang, ayahku tak ingin apa yang telah aku kerjakan menjadi sia – sia. Menjadi arsitek pasti melelahkan. Dan menjadi arsitek tidak cocok dengan kehidupan di desa ini. Menurut ayah, perempuan lebih cocok menjadi guru. Ah, bisa saja aku pergi ke kota. Namun apa daya, aku anak tunggal. Ayahku tak akan mengizinkanku ke luar kota. Aku merasa sedih ketika ayah memutuskan keinginanku.

Taukah ayah? Seberat apapun pekerjaan itu, akan terasa ringan apabila kita menyukainya. Dan seringan apapun pekerjaan itu, namun ternyata kita terpaksa melakukannya, semua menjadi terasa berat.

Hari ini adalah hari sabtu. Aku bersiap untuk mandi, sebelum mandi aku harus menimba air terlebih dahulu. Selesai mandi, aku harus pergi ke pasar menemani ibu. Kami menaiki delman menuju pasar. Ah, aku lupa. Hari senin ada lomba membuat maket bangunan. Lomba yang diadakan oleh salah satu universitas di Yogyakarta. Aku mengikutinya karena kecintaanku pada bidang arsitektur. Biayanya memang tak sedikit. Namun, tabunganku cukup untuk membayarnya. Orang tuaku tak mengetahui tentang lomba ini. Aku sudah merencanakan ini matang – matang. Aku harus membuktikan pada ayah bahwa aku serius untuk menjadi seorang arsitek.

Siangnya, aku mempelajari mengenai dasar sebuah bangunan, penggunaan ilmu matematika dan fisika dalam teknik arsitektur, menggambar banguan, dan penerapan dalam suatu proyek. Hari libur ini, biasanya ibuku menitipkan kue buatannya di warung pinggir jalan desa. Aku mengatar kue – kue terlebih dahulu sekaligus membeli peralatan untuk membuat maket. Di tengah jalan, aku melihat ayah sedang mengobrol dengan teman kerjanya. Ketika aku panggil, ayah bersikap tak acuh. Aku merasa hatiku seperti tertimpa batu besar. Segitu bencinya ayah terhadap apa yang aku cita – citakan. Aku segera beranjak pergi sebelum airmataku mengalir.

Ku buat maket tersebut sendiri tanpa ada orang lain yang tau. Berkali – kali aku gagal, sebab maket tersebut seringkali tak seimbang besar sisinya. Dalam hati, aku terus menangis. Aku memikirkan sikap ayah yang cuek, tak peduli, dan tak menganggapku. Aku nggak boleh cengeng! Ayah benci seorang yang lemah! Aku terus menyemangati diriku sendiri. Aku bergadang demi menyelesaikan maketku. Hingga akhirnya, maket yang ku buat telah jadi.

Tinggal sehari lagi. Aku tak sabar menunggu hari senin tiba. Selesai mengantar kue, aku langsung mempelajari bahan presentasi besok. Tiba – tiba suara ketukan pintu dari luar kamarku terdengar. Aku panik, aku harus menyembunyikan maket ini. Namun terlambat. Ayah di luar sana terkejut melihat apa yang di lihatnya. Dalam sekejap mata, maketku hancur. Ayah...

“APA YANG KAMU LAKUKAN?!”

“A-aku ingin mengikuti lomba membuat maket miniatur, yah.” Aku tertunduk sedih.

“Ingat! Ayah tidak akan pernah menyetujuimu untuk menjadi seorang arsitek!” Blam. Pintu ditutup dengan keras. Ya Allah, apa ada yang salah dengan cita – citaku sebagai anak dari desa ini?

Aku mengumpulkan potongan maket yang berserakan dan memulai membuat yang baru. Seolah tak peduli oleh lontaran kata ayahku, aku tetap mengikuti lomba tersebut. Ini satu – satunya jalan supaya ayah percaya, bahwa seni juga bisa bermanfaat dimana pun kita berada. Semua orang berhak memperjuangkan cita – citanya.

Hari senin tiba. Pihak sekolah mengizinkanku untuk mengikuti lomba, sebab aku juga membawa nama sekolahku. Aku bersama guru kesenianku menuju lokasi lomba. Letaknya di Yogyakarta. Kami berangkat menggunakan mobil sekolah. Mobil tua. Begitu temanku berkata. Mobil ini mungkin peninggalan nenek moyang. Haha...

Di sinilah aku berdiri. Di depan para juru yang akan menilai hasil karyaku. Ku hembuskan napas perlahan. Bismillahirrohmanirrohim. Aku mulai mempresentasikan apa yang telah aku buat. Hasil yang luar biasa. Para juri antusias mendengar konsep bangunan ini. Mereka memberi ku applause. Pengumuman pemenang diumukan hari itu juga.

“Dan juara satu lomba maket miniatur bangunan adalah Acha Raissa Wijaya!” Suara tepuk tangan yang meriah memenuhi ruangan. Aku terpaku sejenak. Hingga guruku menepuk pundakku pelan. 

“Sana kamu maju,” Aku mengangguk lalu berjalan menuju panggung kecil di hadapanku.

“Selamat Acha! Kamu berhasil mendapatkan golden ticket untuk masuk fakultas Teknik Arsitektur di sini.” Aku hampir meneteskan airmata. “Ada yang ingin kamu sampaikan?” Aku mengangguk.

“Ayah, ibu, kemenangan ini buat kalian. Terutama untuk ayah. Ah, pasti kalian nggak akan mendengar perkataanku, tapi biarlah mereka yang ada dalam ruangan ini menjadi saksi. Ayah, aku ingin jadi arsitek bukan hanya karena cita – cita. Tapi aku berpikir untuk membuatkan kalian rumah suatu saat nanti. Aku ingin menjadi arsitek yang pertama di desa tempat kita tinggal. Aku ingin membuktikan bahwa seni juga bermanfaat dalam hidup. Maafin Acha, karena sudah bantah perintah ayah.” Aku mengusap airmataku yang tanpa ku sadari sudah mengalir deras.

“Acha!” Aku menoleh ke sumber suara. Ibu... Ayah... Aku berlari menuruni panggung sambil memeluk mereka berdua. “Kejar cita – citamu, nak.”

Aku mengerjapkan mata tak percaya. Refleks, aku langsung memeluk tubuh ayahku sambil mengucapkan kata terimakasih sebanyak – banyaknya.

Ternyata, kepala sekolahku yang membawa orang tuaku ke sini. Pihak sekolah mengenalku sebagai siswi yang cinta pada dunia arsitek. Biasanya, aku suka berkeluh kesah dengan guru BK. Mungkin itu sebabnya orang tuaku ada disini.

Aku mencium ayah dan ibuku bergantian. Sekarang aku berhasil mendirikan perusahaan arsitektur sendiri. Dan rencananya, besok aku akan membuat desain rumah untuk kedua orang tuaku. Aku tinggal di Yogya. Sekali – kali aku datang ke desaku ini menjenguk orang tuaku. Desa Borongsari. Tempat yang sangat indah dan bebas polusi. Desa yang menjadi saksi bisu perjuanganku untuk meraih cita – citaku.


0 comments:

Post a Comment

Jangan menggunakan kata-kata yang kasar.
Terima kasih.

 

Babynemooos Template by Ipietoon Blogger Template | Gift Idea