Hold Your Dreams
Semilir angin berhembus menerpa wajahku. Dinginnya udara
pagi membuat tubuhku menggigil. Aroma pepohonan yang basah oleh embun menyeruak
dan menggelitik bulu – bulu halus di rongga hidung. Matahari belum menampakan dirinya.
Aku mulai menimba air untuk berwudhu. Ku basuh tangan
hingga kakiku perlahan. Kemudian, kulafalkan do’a setelah berwudhu. Aku masuk
ke dalam rumah yang sederhana. Ku ambil mukenah untuk melaksanakan shalat
subuh.
Tak lama kemudian, bunyi ayam pun mulai bersaut – sautan.
Menandakan bahwa matahari telah terbangun dari tidurnya. Aku berjalan menuju
teras. Di sana, ada ibu dan ayah yang sedang berbincang – bincang. Aku
menghampiri mereka dengan langkah riang.
“Selamat pagi, bu, yah!”
“Pagi, sayang. Gimana kerjaan kamu?”
“Sangat baik, bu. Terimakasih ibu dan ayah untuk
segalanya.” Aku menatap ibu dan bapak dengan mata berkaca – kaca seraya
tersenyum.
Ya, kerja keras tidak akan menghianati.
Hari itu sangat
terik. Matahari bisa saja membakar gosong kulitku. Aku mengayuh sepedaku dengan
cepat. Sepertinya, dewi fortuna sedang tidak berpihak padaku. Rantai sepedaku
lepas! Terpaksa aku harus berjalan kaki.
Jarak tempat
tinggalku dengan sekolah lumayan jauh. Tiap hari aku harus menaiki sepeda
supaya cepat sampai sekolah. Tak lupa, aku membawa kue yang dibuat oleh ibuku
untuk dijual. Kue – kue ini selalu terjual abis di kelasku. Ah, masakan ibuku
memang yang terbaik.
Sampai di rumah,
aku langsung menghempaskan tubuhku di bangku kecil yang terletak di teras. “Acha,
rantainya copot lagi?” Suara ibu membuatku terkaget.
“Eh, ibu. Hehe,
iya. Biasalah,”
Ibu mengelus
rambutku memberikan kehangatan kasihnya, “Gimana kalau kita pergi beli sepeda
saja?”
Aku mendongak,
“Nggak usah, bu. Tabungannya disimpan saja buat masa tua ibu dan ayah.
Lagipula, sepedanya masih bisa dibenerin kok,”
Ibu tersenyum
menanggapi ucapanku. Hening, tak ada yang bersuara. Aku pun memecah keheningan,
“Bu, ayah di mana?”
“Masih di sawah.
Lagi panen padi,”
“Oh... kalau
begitu, aku mau mandi dulu, bu.” Ibu mengangguk. Aku bangkit dari dudukku
dan segera pergi membersihkan diri. Sekalian mengerjakan PR. Aku biasa
mengerjakannya sepulang sekolah. Karena takut ada pemadaman listrik tiba – tiba
pada malam hari.
Matahari perlahan
hilang dari pandangan. Setiap menjelang malam, aku harus menggiring ayam ternak
ayahku menuju kandangnya. Adzan maghrib pun berkumandang.
Di hadapanku,
telah tersedia nasi, ikan asin, sayur asem, tempe dan tahu, tak ketinggalan
juga sambal. Itulah menu favorit keluargaku. Tak ada yang mengeluarkan suara
selagi makan. Setelah menyelesaikan makan, seperti biasa kami menuju ruang
tengah untuk berbagi cerita.
“Acha, setelah
lulus SMA ini, apa yang akan kamu lakukan?” Tanya ayahku.
“Acha mau kuliah,
yah. Acha sudah mempersiapkan semuanya, supaya Acha bisa dapat jalur undangan.”
Aku menjawab dengan tegas.
“Jurusan apa yang
akan kamu ambil?”
“Acha akan
mengambil jurusan arsitektur, yah.”
“Ayah nggak
setuju!” Aku tersentak mendengar perkataan ayah. Ibu hanya diam.
“Tapi Acha mau
jadi arsitek, yah. Ayah tau kan, Acha suka seni!” Airmataku sudah tergenang.
Sekali saja aku berkedip, dengan mudah airmata ini meluncur.
“Apa gunanya seni?
Nggak bermutu! Ayah mau kamu jadi guru! Bukankah ayah sudah pernah bilang sama
kamu?!” Ibuku mengusap bahu ayah, berusaha menenangkan emosinya.
“Tapi Acha nggak
suka, yah! Acha mau kerja sesuai passion Acha!”
“Kamu berani
ngebantah ayah?!” Tangan ayah terangkat siap menamparku. Aku memejamkan mata,
namun tangan itu tak kunjung menamparku. Ku buka mata perlahan. Ternyata, ibu
menahan tangan ayah. Ayah yang merasa geram meninggalkan ruangan. Aku terisak
dipelukan ibu. Sejak itu, ayah tak lagi mempedulikannku.
Malam ini, aku
tidur bersama ibu. Ibu bilang, ayahku tak ingin apa yang telah aku kerjakan
menjadi sia – sia. Menjadi arsitek pasti melelahkan. Dan menjadi arsitek tidak
cocok dengan kehidupan di desa ini. Menurut ayah, perempuan lebih cocok menjadi
guru. Ah, bisa saja aku pergi ke kota. Namun apa daya, aku anak tunggal. Ayahku
tak akan mengizinkanku ke luar kota. Aku merasa sedih ketika ayah memutuskan
keinginanku.
Taukah ayah?
Seberat apapun pekerjaan itu, akan terasa ringan apabila kita menyukainya. Dan
seringan apapun pekerjaan itu, namun ternyata kita terpaksa melakukannya, semua
menjadi terasa berat.
Hari ini adalah
hari sabtu. Aku bersiap untuk mandi, sebelum mandi aku harus menimba air
terlebih dahulu. Selesai mandi, aku harus pergi ke pasar menemani ibu. Kami
menaiki delman menuju pasar. Ah, aku lupa. Hari senin ada lomba membuat maket
bangunan. Lomba yang diadakan oleh salah satu universitas di Yogyakarta. Aku
mengikutinya karena kecintaanku pada bidang arsitektur. Biayanya memang tak
sedikit. Namun, tabunganku cukup untuk membayarnya. Orang tuaku tak mengetahui
tentang lomba ini. Aku sudah merencanakan ini matang – matang. Aku harus
membuktikan pada ayah bahwa aku serius untuk menjadi seorang arsitek.
Siangnya, aku
mempelajari mengenai dasar sebuah bangunan, penggunaan ilmu matematika dan
fisika dalam teknik arsitektur, menggambar banguan, dan penerapan dalam suatu
proyek. Hari libur ini, biasanya ibuku menitipkan kue buatannya di warung
pinggir jalan desa. Aku mengatar kue – kue terlebih dahulu sekaligus membeli
peralatan untuk membuat maket. Di tengah jalan, aku melihat ayah sedang
mengobrol dengan teman kerjanya. Ketika aku panggil, ayah bersikap tak acuh.
Aku merasa hatiku seperti tertimpa batu besar. Segitu bencinya ayah terhadap
apa yang aku cita – citakan. Aku segera beranjak pergi sebelum airmataku
mengalir.
Ku buat maket
tersebut sendiri tanpa ada orang lain yang tau. Berkali – kali aku gagal, sebab
maket tersebut seringkali tak seimbang besar sisinya. Dalam hati, aku terus
menangis. Aku memikirkan sikap ayah yang cuek, tak peduli, dan tak
menganggapku. Aku nggak boleh cengeng! Ayah benci seorang yang lemah! Aku terus
menyemangati diriku sendiri. Aku bergadang demi menyelesaikan maketku. Hingga
akhirnya, maket yang ku buat telah jadi.
Tinggal sehari
lagi. Aku tak sabar menunggu hari senin tiba. Selesai mengantar kue, aku
langsung mempelajari bahan presentasi besok. Tiba – tiba suara ketukan pintu
dari luar kamarku terdengar. Aku panik, aku harus menyembunyikan maket ini.
Namun terlambat. Ayah di luar sana terkejut melihat apa yang di lihatnya. Dalam
sekejap mata, maketku hancur. Ayah...
“APA YANG KAMU
LAKUKAN?!”
“A-aku ingin
mengikuti lomba membuat maket miniatur, yah.” Aku tertunduk sedih.
“Ingat! Ayah tidak
akan pernah menyetujuimu untuk menjadi seorang arsitek!” Blam. Pintu ditutup
dengan keras. Ya Allah, apa ada yang salah dengan cita – citaku sebagai anak
dari desa ini?
Aku mengumpulkan
potongan maket yang berserakan dan memulai membuat yang baru. Seolah tak peduli
oleh lontaran kata ayahku, aku tetap mengikuti lomba tersebut. Ini satu –
satunya jalan supaya ayah percaya, bahwa seni juga bisa bermanfaat dimana pun
kita berada. Semua orang berhak memperjuangkan cita – citanya.
Hari senin tiba.
Pihak sekolah mengizinkanku untuk mengikuti lomba, sebab aku juga membawa nama
sekolahku. Aku bersama guru kesenianku menuju lokasi lomba. Letaknya di
Yogyakarta. Kami berangkat menggunakan mobil sekolah. Mobil tua. Begitu temanku
berkata. Mobil ini mungkin peninggalan nenek moyang. Haha...
Di sinilah aku
berdiri. Di depan para juru yang akan menilai hasil karyaku. Ku hembuskan napas
perlahan. Bismillahirrohmanirrohim. Aku mulai mempresentasikan apa yang telah
aku buat. Hasil yang luar biasa. Para juri antusias mendengar konsep bangunan
ini. Mereka memberi ku applause. Pengumuman pemenang diumukan hari itu juga.
“Dan juara satu
lomba maket miniatur bangunan adalah Acha Raissa Wijaya!” Suara tepuk tangan
yang meriah memenuhi ruangan. Aku terpaku sejenak. Hingga guruku menepuk
pundakku pelan.
“Sana kamu maju,”
Aku mengangguk lalu berjalan menuju panggung kecil di hadapanku.
“Selamat Acha!
Kamu berhasil mendapatkan golden ticket untuk masuk fakultas Teknik Arsitektur
di sini.” Aku hampir meneteskan airmata. “Ada yang ingin kamu sampaikan?” Aku
mengangguk.
“Ayah, ibu,
kemenangan ini buat kalian. Terutama untuk ayah. Ah, pasti kalian nggak
akan mendengar perkataanku, tapi biarlah mereka yang ada dalam ruangan ini
menjadi saksi. Ayah, aku ingin jadi arsitek bukan hanya karena cita – cita.
Tapi aku berpikir untuk membuatkan kalian rumah suatu saat nanti. Aku ingin
menjadi arsitek yang pertama di desa tempat kita tinggal. Aku ingin membuktikan
bahwa seni juga bermanfaat dalam hidup. Maafin Acha, karena sudah bantah
perintah ayah.” Aku mengusap airmataku yang tanpa ku sadari sudah mengalir
deras.
“Acha!” Aku
menoleh ke sumber suara. Ibu... Ayah... Aku berlari menuruni panggung sambil
memeluk mereka berdua. “Kejar cita – citamu, nak.”
Aku mengerjapkan
mata tak percaya. Refleks, aku langsung memeluk tubuh ayahku sambil mengucapkan
kata terimakasih sebanyak – banyaknya.
Ternyata, kepala
sekolahku yang membawa orang tuaku ke sini. Pihak sekolah mengenalku sebagai
siswi yang cinta pada dunia arsitek. Biasanya, aku suka berkeluh kesah dengan
guru BK. Mungkin itu sebabnya orang tuaku ada disini.
Aku mencium ayah dan ibuku bergantian. Sekarang aku
berhasil mendirikan perusahaan arsitektur sendiri. Dan rencananya, besok aku
akan membuat desain rumah untuk kedua orang tuaku. Aku tinggal di Yogya. Sekali
– kali aku datang ke desaku ini menjenguk orang tuaku. Desa Borongsari. Tempat
yang sangat indah dan bebas polusi. Desa yang menjadi saksi bisu perjuanganku
untuk meraih cita – citaku.
0 comments:
Post a Comment
Jangan menggunakan kata-kata yang kasar.
Terima kasih.