Aku menatap gundukan tanah di hadapanku. Memori - memori
kelam kembali berputar di otakku. Aku tak pernah melupakan hari itu. Hari di
mana aku kehilangan sahabatku.
Suara musik yang memekakan telinga membuat kepalaku sakit.
Lampu warna - warni berkedip – kedip mengikuti dentuman musik. Aroma alkohol
serta rokok menggelitik bulu hidungku. Aku tak mengerti mengapa orang - orang
ini betah di tempat yang benar - benar jauh dari kata tenang. Bukankah mereka
ingin melarikan diri dari masalah? Harusnya mereka tidak pergi ke tempat ini.
Aku memutar arah pandangan ke tiap sudut ruangan. Namun yang
kutemukan hanyalah orang - orang yang sedang bercumbu dengan pasangan masing –
masing. Mereka benar – benar membuatku mual. Ah, mana sih Riyadi. Aku berjalan
menuju bar yang terletak di sebelah kanan ruangan. "Hai, cantik. Main sama
aku yuk!" Seseorang mencolek daguku. Sontak, aku menepis tangannya.
"Duh, galak banget sih," Suara tawa menggema di
seluruh ruangan. Lama –kelamaan semakin banyak saja laki - laki tidak jelas
datang menghampiri ku. Dalam hati, aku terus berharap agar Riyadi melihatku dan
membawaku pergi dari sini.
"Jangan ganggu pacar gue!" Kata seseorang di
belakangku dengan lantang. Aku menoleh ke belakang dan ternyata orang itu
adalah Riyadi. Aku segera berlari kearahnya dengan wajah ketakutan. Riyadi
menggenggam tanganku erat, seolah - olah menegaskan bahwa aku adalah miliknya.
"Eh bos besar dateng. Jadi dia pacar bos? Yaudah kita
undur diri kalo gitu." Dalam sekejap, gerombolan laki - laki itu menghilang.
Aku bernapas lega. Aku teringat Riyadi masih menggenggam tanganku. Ketika aku
ingin melepas tautan tangan kami, Riyadi makin mengencangkan genggaman ini. Ia
menyeretku menuju pintu keluar. Aku terseok – seok mengikuti langkah kakinya
yang panjang.
Sesampainya di parkiran, kami masuk ke dalam Jeep
Wranglernya. Riyadi mengambil alih kursi pengemudi. Riyadi mengendarai mobilnya
dengan kecepatan penuh. Wajahnya menyiratkan emosi yang siap meluap. Aku
menunduk ketakutan sambil meremas ujung bajuku. Airmataku sudah tergenang di
pelupuk mata.
“Di, pelan – pelan aja nyetirnya,” ucapku lirih. Riyadi
semakin mengencangkan mobilnya seperti orang kesetanan. Aku sudah terisak di
bangku penumpang.
“Di! Riyadi!”
Tiba –tiba Riyadi ngerem mendadak. Kami terdorong ke depan. Untung saja aku bisa
menahan tubuhku. Ku lihat Riyadi menenggelamkan wajahnya di kedua tangannya
yang bertumpu pada stir mobil. Lama – kelamaan tubuh Riyadi bergetar, aku
mendengar isakannya yang begitu pedih. Ku usap punggung Riyadi, hingga akhirnya
tangisan itu mereda. Riyadi mengangkat kepalanya, lalu menyenderkan tubuhnya di
bangku pengemudi.
“Tolong jangan pernah ke tempat itu lagi.” Riyadi menekankan
setiap kata yang di lontarkannya.
“Aku cari kamu. Kamu ingetkan malam ini kamu janji mau
ajarin aku matematika. Aku tunggu kamu di cafe biasa, kamu nggak dateng –
dateng. Aku hubungin iPhone mu, ternyata yang angkat seorang perempuan. Begitu
denger suara musik DJ, aku langsung berpikiran kalau kamu ke tempat laknat itu
lagi. Kenapa kamu kesana lagi, sih?!” Cicitku pelan.
Riyadi hanya diam, menatap kegelapan malam. Hanya ada
beberapa lampu kecil yang menerangi jalan sepi ini. Tak ada bintang yang biasa
menghiasi langit. Aku membuang pandanganku ke arah kaca samping. Riyadi masih
belum mengeluarkan suaranya. Hingga aku merasakan mesin mobil ini berbunyi.
Kami pun pulang diselimuti keheningan.
Esoknya, Riyadi tak masuk sekolah. Aku tidak tau
keberadaannya sekarang. Ketika aku turun dari mobilnya kemarin, ia langsung
tancap gas. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Melihat ke arah ku saja tidak.
Tadi sewaktu aku melewati ruang guru, kudengar banyak guru yang sedang
membicarakan Riyadi. Guru – guru bilang, bahwa nilai Riyadi turun. Padahal Riyadi
anak terpintar seangkatan. Pulang sekolah, aku bergegas menuju rumah Riyadi.
Aku naik ojek pangkalan, sebab supir keluargaku sedang
sakit. Hari ini matahari begitu menyengat. Padahal sudah jam 03.00 sore. Belum
lagi macet yang panjang sekali. Ditambah lagi polusi udara yang membuat sesak
paru – paru. Kulihat, di setiap lampu lalu lintas ada anak kecil hingga orang
dewasa yang sedang mengamen, mengemis, ada juga yang berjualan. Sungguh
mirisnya kota metropolitan ini.
Aku berdiri di depan pintu gerbang rumah Riyadi. Nampaknya,
rumah ini sepi sekali. Seperti tidak ada tanda – tanda kehidupan. Ku tekan bel
rumah ini, tampak seorang satpam berlarian kecil. “Cari siapa, non?” Tanyanya.
“Riyadinya ada, pak?”
“Oh, ada. Kalau boleh tau, nona ini siapanya den Riyadi ya?”
“Temannya, pak.” Pak satpam menganggukan kepalanya dan
mempersilahkan aku masuk.
Aku memasuki halaman rumah Riyadi. Mulai dari bunga mawar,
lily, sepatu, kamboja baunya menyapa para tamu yang datang. Rumah Riyadi bak
istana besarnya. Ah, maksudku rumah orang
tua Riyadi. Aku menekan bel yang ada di samping pintu. Keluarlah seorang
wanita paruh baya mengenakan baju seragam pelayan.
“Silahkan masuk, non. Den Riyadi sudah menunggu di
kamarnya.” Aku melangkah ke lantai dua, tempat kamar Riyadi berada. Aku sudah
pernah ke sini, jadi aku tau di mana letak kamarnya.
Tok... Tok...
“Masuk,”
Aku membuka pintu kamarnya. Aku membulatkan mata, mulutku
terbuka lebar menatap sekeliling kamar. Gila! Ini kamar apa kandang ayam? Aku
menghampiri Riyadi yang sedang tengkurap di kasurnya sambil memainkan
iPhonenya.
“Ya Allah, aku kira sakit, ternyata lagi bersantai ria,”
“Berisik.” Ketus Riyadi.
Aku berjalan menuju meja belajarnya, “Masih nggak mau
cerita?”
Riyadi menganggap ucapanku bagai angin lalu. Ia masih saja
fokus pada permainannya. Tiba – tiba suara pecahan benda dari lantai bawah yang
terdengar nyaring di telingaku. Aku terkaget – kaget sampai hampir terjatuh
dari kursi.
Prang
Riyadi melempar iPhonenya ke tembok. Aku memejamkan mata
berusaha untuk mengatur detak jantungku. “Damn!” umpat Riyadi.
Riyadi mengambil jaketnya yang terselampir di pintu dan
kunci di laci samping tempat tidurnya. Begitu sadar akan apa yang terjadi, aku
bergegas mengejar Riyadi.
“KAMU LIAT! ANAK KITA JADI DURHAKA SEKARANG! GARA - GARA SIAPA?! GARA – GARA KAMU! KAMU SIBUK
DENGAN TEMAN SOSIALITAMU, SAMPAI ANAK KITA TERLANTAR!”
“KAMU JUGA SALAH! KAMU TERLALU SIBUK DENGAN KERJAANMU,
SAMPAI KAMU LUPA DENGAN KELUARGAMU SENDIRI!”
Aku terpaku melihat pemandangan di bawah sana. Riyadi yang
sudah berada di bawah memasang wajah datar melihat orang tuanya bertengkar.
Otakku terlalu sulit menerima peristiwa yang terjadi di hadapanku sekarang.
Hingga akhirnya terdengar raungan motor melesat begitu kencang. Seketika aku
langsung tersadar. Riyadi... Di bawah sudah tak ada orang. Hanya serpihan kaca
yang berserakan di lantai.
Aku berlari keluar dari rumah ini. Beruntung, ada taksi
lewat di depan rumah ini. Aku menuju suatu tempat di mana aku yakin Riyadi ada
di sana.
Lagi – lagi aku harus kesini. Ke tempat laknat yang di
penuhi orang – orang bodoh. Begitu masuk, aroma khas dari tempat ini lagi –
lagi menggelitik bulu hidungku. Tepat di bar yang kemarin aku datangi, aku
melihat Riyadi. Ku hampiri dia yang sudah setengah mabuk.
“Riyadi,”
“Argh! Persetan dengan tua bangka itu. Mereka pikir aku
bahagia? Hahaha,” Riyadi terus meracau seperti orang gila. Aku menangis melihat
keadaannya.
“Najla, lo tau? Selama ini makanan gue cuma harta! Mereka
pikir kasih sayang bisa di beli dengan harta? Miris ya hidup gue. Pagi nggak
liat mereka, malem juga nggak liat mereka. Kerja aja terus dipikirin. Main aja
terus yang dipikirin. Lupa kali ya mereka kalo udah punya anak. Hahaha,” Riyadi
makin kacau. Kantung matanya hitam, pakaiannya kucel, rambutnya berantakan.
Aku pun menyeret Riyadi keluar club. Sampai di luar, Riyadi
mendorongku hingga aku terjatuh. “Jangan tatap gue dengan muka kasihan.”
“Riyadi, kamu harus pulang!”
“Buat apa gue ke neraka itu lagi?” Riyadi menatapku kosong,
namun aku tau. Dalam hatinya ia merasakan luka yang begitu pedih. Ia berjalan
menyebrangi jalan seperti orang linglung, tiba – tiba suara klakson mobil
terdengar.
“Riyadi! Awas!”
Dalam sekejap, tubuh Riyadi tergolek lemah di jalanan. Orang
– orang berlarian ke arah Riyadi. Aku menangis histeris begitu orang – orang
berkata Riyadi sudah tak bernyawa.
Aku menebarkan bunga di atas makam Riyadi. Sahabat terbaik
yang pernah aku miliki. Ku lihat dua orang paruh baya menangis tersedu – sedu
sambil melontarkan kata maaf berkali – kali.
“Om, tante, jangan pernah sia – siakan seorang anak yang
kalian miliki. Kasih sayang nggak bisa dibeli dengan uang. Riyadi butuh orang
tuanya. Bukan harta orang tuanya. Permisi.”
Aku harap kamu bahagia di alam sana, Riyadi.
0 comments:
Post a Comment
Jangan menggunakan kata-kata yang kasar.
Terima kasih.